Kamis, 31 Maret 2022

Les Bahasa Mandarin Surabaya

Let’s learn Chinese with us ! 📍Surabaya, Indonesia
WA : 085733355927
linkr.bio/anin_zone
.
.
- Menerima kursus kelas /private / online / offline
- Kurikulum menyesuaikan kebutuhan murid
- Tentor profesional dan berpengalaman
- PROMO ! ( kuota terbatas )


#aninlaoshiprivat  #lesbahasamandarin #leshskonline #lesmandarinonline #lesbahasamandarinmurah #中文 #汉语 #lesmanadarinsurabaya #lesprivatmandarinsurabaya















Selasa, 25 Februari 2020

Learn Chinese Grammar: if ... yào shì 。 。 。 ( de huà )

Learn Chinese Grammar: if ... yào shì 。 。 。 ( de huà )

yào shì 。 。 。 ( de huà ) if ... you can omit the "de hua"

yào shì 。 。 。 ( de huà )
要  是  。 。 。 ( 的 话  )
if ...,you can omit the "de hua".

 

For instance:


1. A:  wǒ nénɡ jìn lái mɑ ?
1. A:  我 能   进  来  吗 ?
May I come in?

wǒ shì xiǎo zhānɡ de nǚ pénɡ you ,
我 是  小   张    的 女 朋   友  ,
I am Xiao Zhang's girlfriend,

tā yào wǒ lái bānɡ tā qǔ wén jiàn 。
他 要  我 来  帮   他 取 文  件   。
he asked me to take his file.

B : wǒ jiàn ɡuò tā de nǚ pénɡ you ,
B : 我 见   过  他 的 女 朋   友  ,
I saw his girlfriend,

hé nǐ zhǎnɡ dé bù yí yànɡ !
和 你 长    得 不 一 样   !
you look different!

A : wǒ xiǎnɡ , nǐ jiàn ɡuò de shì tā qián nǚ yǒu 。
A : 我 想    , 你 见   过  的 是  他 前   女 友  。
I think whom you've seen is his ex.

B : méi yǒu bɑ , wǒ zuó tiān cái jiàn ɡuò ,
B : 没  有  吧 , 我 昨  天   才  见   过  ,
no way,I just met her yesterday,

nǐ méi ɡǎo cuò bɑ , bù hǎo yì si ,
你 没  搞  错  吧 , 不 好  意 思 ,
are you sure you are not getting wrong place,I am sorry,

qǐnɡ jiào tā zì jǐ lái ná
请   叫   他 自 己 来  拿
please ask himself to take the file.

C : wǒ tīnɡ shuō xiǎo zhānɡ hé tā nǚ yǒu fēn shǒu le ,
C : 我 听   说   小   张    和 他 女 友  分  手   了 ,
I heard Xiaozhang broke up with his gf,

ér qiě yòu chónɡ xīn zhǎo le yí ɡè 。
而 且  又  重    新  找   了 一 个 。
and he got a new one.

B : ā  ? nǐ shuō de shì zuó tiān nà de nà nǚ hái mɑ ?
B : 啊 ? 你 说   的 是  昨  天   那 的 那 女 孩  吗 ?
Ah?You mean the girl who came to my office yesterday?

yào shì tā shuō de shì zhēn de huà ,
要  是  她 说   的 是  真   的 话  ,
if what she said is true,

nà wǒ men kě nénɡ wù huì tā le !
那 我 们  可 能   误 会  她 了 !
then I maybe misunderstand her!

 

2.  wǒ cāi xiǎnɡ :
2.  我 猜  想    :
I guess:

rú ɡuǒ ( or  yào shì ) tā bù xǐ huɑn zhōnɡ ɡuó de huà,
如 果  ( or  要  是  ) 他 不 喜 欢   中    国  的 话 ,
if he doesn't like China,

tā jiù bú huì zhè me nǔ lì de xué zhōnɡ wén le 。
他 就  不 会  这  么 努 力 的 学  中    文  了 。
He won't learn Chinese so hard.

 

3.  yào shì wǒ men qù tài wǎn de huà ,
3.  要  是  我 们  去 太  晚  的 话  ,
If we don't arrive there too late,

jiù mǎi bú dào huǒ chē piào le 。
就  买  不 到  火  车  票   了 。
then we can't get train tickets.

or  huǒ chē piào jiù mài wán liǎo
or  火  车  票   就  卖  完  了
Train tickets are going to be sold out.


Rabu, 30 September 2015

Fonologi Dasar, Perubahan Fonem, Fonem Suprasegmental
BAB 6
FONOLOGI : DASAR-DASAR
1.      PENGANTAR
Fonologi boleh disebut ilmu bunyi yang “fungsional”. Misalnya [t] dalam kata stop dan bunyi [th] dalam kata top.  Kebetulan merupakan bunyi yang “sama” secara “fungsional”. Bunyi fungsional disebut “fonem”.
            Identitas fonem berlaku hanya di dalam satu bahasa sama saja. Misalnya bentuk [t] dan [th] dari fonem /t/ berlaku di dalam bahasa Inggris, tetapi dalam bahasa Mandarin membedakan [t] yang tidak “beraspirasi” dan [th] “beraspirasi”itu sebagai onem yang berbeda. Jadi ada dua fonem : [t] dan [th] di dalam bahasa Mandarin.
2.      IDENTITAS FONEM SEBAGAI IDENTITAS PEMBEDA
Dasar bukti identitas fonem ialah fungsi pembeda sebagai sifat khas fonem itu. Contoh dalam bahasa Indonesia : rupa dan lupa. Perbedaannya hanya [l] dan [r], oleh karena semua yang lain pasangan kedua kata ini sama maka pasangan tersebut disebut pasangan minimal. Hal itu berbeda di dalam bahasa Jepang yang [l] dan [r] secara fonetis dapat berupa [l] yang dapat juga berupa [r]. Berbeda pula dalam bahasa Mandarin [t] dan [th] bukan pasangan minimal tetapi merupakan fonem-fonem yang tidak sama identitasnya.
3.      BEBAN FUNGSIONAL
Contohnya [k] dan [g] dalam bahasa Inggris : back:bag, beck : beg, bicker : bigger, cot : got. Maka dikatakan bahwa “Beban Fungsional”dari oposisi [k] dan [g] dalam bahasa Inggris adalah tinggi. Oposisi /Ʒ/ dan fonem manapun yang lain adalah rendah karena dalam bahasa Inggris fonem tersebut sangat jarang ditemui. Misalnya : leisure /leƷǝ/, ledger /ledƷǝ.
4.      ALTERNASI ALOFONEMIS
Alternasi alofonemis : alofonemis yang teramalkan dari lingkungan. Contohnya dalam bahasa Inggris [th] sebagai konsonan pertama sebelum vokal, sedangkan alofon [t]terdapat hanya bila /t/ tidak pada awal kat.  Contoh : top,butler, hat, that.
            Variasi bebas menyangkut adanya lebih dari satu bentuk kata, untuk kata-kata tertentu menyangkut jenis fonemisnya. Contoh dalam bahasa Indonesia : telur / telor, berjuang / berjoang, nasehat / nasihat.
5.      PENAFSIRAN EKAFONEM DAN PENAFSIRAN DWIFONEM
Yang terpenting dari fonem-fonem ini adalah akibat-akibat dari fonem tersebut. Contoh : kasa dan kassa, menyalak àberdasarkan ekafonem maka menyalak jika dipisahkan menjadi men-yalak,akan tetapi berdasarkan dwifonem menjadi me-nyalak karena dari kata dasar salak mendapat imbuan me
6.      PENGKHAZANAHAN FONEM
Keseluruhan fonem-fonem disebut khazanah atau perbendaharaan fonem-fonem. Jumlah fonem dalam bahasa biasanya antara 20 buah-40 buah. Jumlah vokal dalam bahasa tertentu diantara minimum 5 vokal dan maksimum 9 atau 10 vokal. Konsonan biasanya mencapai jumlah tertinggi sekita 15 konsonan dalam suatu bahasa.
BAB 7
FONOLOGI : PERUBAHAN FONEMIS; FONEM-FONEM SUPRASEGMENTAL
1.      PENGANTAR
Contoh klausa Belanda : ik eet vis : saya makan ikan. Kata vis ‘ikan’ memiliki fonem /vis/ dimulai dengan frikatif labio-dental bersuara /v/, sedangkan kata eet ‘makan’ berakhir dengan fonem /t/, sebuah letupan apiko-alveolar tak bersuara. Sesudah eet, setiap /v/ berubah menjadi konsonan hormogonan tak bersuara, yaitu /f/. Sehingga menjadi /ik et fis/ . Fonem /v/ berubah menjadi /f/ yang disebut dengan asimilasi fonemis.
2.      ASIMILASI FONEMIS
Asimilasi fonemis merupakan asimilasi yang mengubah fonem tertentu menjadi fonem tertentu. Berbeda dengan asimilasi fonetis yang tidak mengubah status fonem bunyi yang dipengaruhi, sedangkan asimilasi fonemis mengubah fonem tertentu menjadi fonem yang lain. Contoh dalam bahasa Belanda zakdoek ‘sapu tangan’ à fonem /k/ dalam zak bibaca dengan /g/. Dalam bahasa Mandarin qián= uang
3.      MODIFIKASI VOKAL : UMLAUT
Modifikasi vokal yang fonemis artinya modifikasi yang menyebabkan fonem vokal tertentu berubah menjadi fonem vokal lain. Istilah umlaut (dapat disebut juga mutasi atau metafoni) diartikan sebagai perubahan vokal sedemikian rupa sehingga vokal itu diubah menjadi vokal lebih tinggi, sebagai akibat vokal (biasanya /i/ jadi [i]) atau semivokal [y] yang mengikutinya (langsung atau tak langsung)yang tinggi. Tentunya umlaut itu merupakan salah satu jenis asimilasi. (umlaut itu juga merupakan istilah ortografi Jerman yaitu dua titik di atas vokal tertentu). Contoh dalam bahasa Jerman Bücher= buku. Contoh dalam bahasa Mandarin 绿色 lǜshe = warna hijau.
4.      MODIFIKASI VOKAL : ABLAUT
Modifikasi vokal ablaut (apofoni atau gradasi vokal) adalah perubahan vokal yang kita temukan dalam bahasa-bahasa German. Contohnya di dalam bahasa Inggris : sing,sang,sung ‘bernyanyi’, dalam bahasa Belanda duiken,dook, gedoken ‘terjun’. Secara diakronik, ablaut itu berdasarkan aksen dan karena itulah termasuk fonologi. Secara sinkronik perubahan sing menjadi sang menjadi sung termasuk morfologi dan diberi nama modifikasi internal.
5.      MODIFIKASI VOKAL : HARMONI VOKAL
Harmoni vokal adalah perubahan vokal di bawah pengaruh vokal yang lain sedemikian rupa sehingga vokal dalam setiap silabe (dalam kata yang sama) secara fonemis berubah menjadi vokal yang lain. Contoh bahasa Turki : At : atlar ‘kuda’, oda : odalar  ‘kamar’, ev : evler ‘rumah’.
6.      NETRALISASI DAN ARKIFONEM
Fungsi fonem adalah membedakan makna—suatu fungsi yang nampak dalam pasangan minimal. Misalnya /t/ dan /d/ berfungsi dalam pasangan minimal dalam banyak bahasa. Misalnya saja top ‘puncak’, dop ‘tutup’. Netralisasi adalah alternasi fonem (bukan alternasi alofonemis saja) akibat pengaruh lingkungan. Contoh dalam bahasa Belanda hard : hart : ada arkifonem yang anggota-anggotanya fonem /t/ dan /d/. Bentuk asli arkifonem tersebut adalah /D/ à/hàrD/
7.      HILANGNYA FONEM DAN KONTRAKSI
Dalam semua bahasa di dunia, penutur-penutur berusaha untuk menghemat tenaga dalam pemakaian bahasa dan memperpendek tuturannya, sejauh hat itu tidak menghambat komunikasi, dan tidak bertentangan dengan budaya tempat bahasa tersebut dipakai. Sifat hemat itu dalam bahasa lazim disebut ekonomi bahasa. Contoh bahasa Indonesia : saya tidak bisa à saya ndak bisa, puskesmas, sembako.Contoh dalam bahasa Mandarin : 北京语言大学 bĕijīng xŭyán dàxué à 北大: bĕidà : Universitas Bahasa Beijing
8.      DISIMILASI
Disimilasi menyebabkan dua fonem yang sama (berdekatan atau tidak) menjadi fonem lain. Contoh dalam bahasa Indonesia : belajar à ber+ajar
9.      METATESIS
Dalam proses metatesis yang diubah adalah urutan fonem-fonem tertentu. Biasanya bentuk asli dan bentuk yang mengalami metatesis ini terdapat bersama-sama, sehingga ada variasi baru. Contoh sinkronik dalam bahasa Indonesia : brantas dan bantras, jalur dan lajur, kerikil dan kelikir. Contoh diakronik dalam bahasa Portugis : almari à lemari. Kata Arab : arba à rebo atau rabu. Arbah à rebab
10.  INTONASI
Dalam jenis-jenis kalimat tertentu, intonasi adalah sesuai dengan jenis kalimat dan bersifat fonemis karenanya.
Description: D:\gambar\aapascasarjana\tugas kuliah\IMG_20141010_022934.jpg

Description: D:\gambar\aapascasarjana\tugas kuliah\IMG_20141010_022958.jpg Description: D:\gambar\aapascasarjana\tugas kuliah\IMG_20141010_023007.jpg

Description: D:\gambar\aapascasarjana\tugas kuliah\IMG_20141010_023026.jpg

11.  NADA SEBAGAI PEMBEDA LEKSIKAL: BAHASA NADA
Contoh dalam bahasa Mandarin : wēi : kewibawaan, wéi : tirai, gorden, wĕi : palsu, wèi : halo. Keempat kata tersebut adalah sama secara segmental hanya berbeda secara suprasegmental. Nada di dalam Cina Mandarin ada 4 nada, Cina Taiwan : 6 nada, bahasa Cina lain memiliki 7 atau 8 nada sebagai pembeda leksikal. Jumlah nada pembeda leksikal dalam bahasa nada teretentu disebut reister nada dalam bahasa yang bersangkutan.
12.  AKSEN, NADA, DAN TEKANAN
Contoh saya mau ke Buru bukan ke Boro. Buru dan  Boro diberi tekanan khusus sehingga amplitudonya lebih lebar demi kontras. Kontras itu adalah kontras semantis dan bersifat fonemis.
Tekanan sering disebut aksen bila menjadi sifat khusus untuk unsur leksikal atau kata. Contoh dalam bahasa Inggris : conduct ‘tingka laku’ dan conduct ‘menyelenggarakan’
Bahasa Yunani klasik memiliki aksen nada. Misalnya : antrhrôpos ‘manusia’ memiliki aksen nada pertama an-, tetapi ô-nya adalah panjang kuantitasnya.
13.  PERUBAHAN FONEM-FONEM SUPRASEGMENTAL

Terdapat komplikasi-komplikasi suprasegmental yang demikian. Misalnya dalam bahasa tertentu, nada (pembeda leksikal) tertentu pada akhir kata dapat menjadi sumber asimilasi (secara progresif) untuk nada silabe pertama kata berikutnya, atau (secara regresif ) dapat dipengaruhi oleh nada silabe pertama kata yang berikutnya
ILMU SASTRA UMUM
PASCASARJANA 2014
TEORI POSTKOLONIAL
v  Pengertian Postkolonial
Secara Etimologis, postkolonial berasal dari kata post dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata Colonia, bahasa romawi yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologi kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasai lainnya. Dikaitkan dengan pengertian kolonial terakhir (Ania Loomba, 2003:2-3), maka negara-negara eropa modern bukanlah kolonias yang pertama.
Dikaitkan dengan teori-teori postmodernisme yang lain, studi postkolonial termasuk relatif baru. Cukup sulit untuk menentukan secara agak pasti kapan teori postkolonial lahir. Menurut Shelley walia (2001:6;,2003:58-59) proyek postkolonialisme pertama kali dikemukakan oleh Frantz Fanon dengan bukunya yang berjudul Black Skin, White Mask and Wretched of The Earth (1967). Fanon menyimpulkan bahwa melalui dikotomi kolonial, penjajah-penjajah, wacan oriental telah melahirkan alienasi dan marginalisasi psikologis yang sangat dahsyat. Gayatri Chakravorty spivak, homik, Bhabha, jaques Derrida,dan tzvetan todorov mengatakan bahwa yang dimaksud dengan teori postkolonial adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala  kultural, seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra dan sebagainya. Pada umumnya gejala-gejala kultural tersebur terkandung dalam berbagai teks studi mengenai dunia timur.
v  Bidang Kajian Postkolonial
Dalam bidang sastra, teori poskolonial merupakan salah satu dari serangkaian munculnya kajian atau teori setelah kemapanan teori strukturalisme mulai dipertanyakan. Seperti telah diketahui oleh umum bahwa dalam sejarahnya teori sastra yang mula-mula yaitu teori mimesis pada zaman Plato di Yunani Kuno. Perkembangan berikutnya yaitu teori pragmatis pada zaman Horace dari Romawi abad ke-4 yang disusul dengan teori yang berorientasi pada ekspresionisme pada abad ke-19.
Pada abad ke-20 teori-teori yang berorientasi pada strukturalisme mendominasi kajian sastra. Pada paruh abad ke-20, teori-teori strukturalisme yang mendasarkan kajiannya hanya sebatas objek sastra itu telah mencapai puncaknya. Perkembangan teori sastra selanjutnya, berputar haluan dan dalam kecepatan yang luar biasa memunculkan sejumlah teori-teori yang seringkali satu sama lain saling berseberangan dan saling mengisi.
Pada paruh akhir abad ke-20, selain strukturalisme yang mengkaji karya sastra hanya berdasarkan strukturnya, ada juga sejumlah kajian atau teori sastra yang melibatkan unsur kesejarahannya dan konteks sosialnya. Teori-teori seperti cultural studies, new historisisme, dan poskolonial untuk sekedar menyebut contoh merupakan kajian-kajian sastra yang menganalisis karya sastra dalam konteks kesejarahannya ataupun konteks sosialnya. Poskolonial merupakan kajian terhadap karya-karya sastra (dan bidang yang lain) yang berkaitan dengan praktik kolonialisme atau imperialisme baik secara sinkronik maupun diakronik. Kajian poskolonial berusaha membongkar selubung praktik kolonialisme di balik sejumlah karya sastra sebagai superstruktur dari suatu kekuasaan, kekuasaan kolonial. Sastra dipandang memiliki kekuatan baik sebagai pembentuk hegemoni kekuasan atau sebaliknya sebagai konter hegemoni. 
v  Visi Postkolonial
Visi postkolonial tidak ada kaitan dengan masalah-masalah sosial politis secara praktis dalam analisis, khususnya karya sastra, tidak mesti dikaitkan dengan intensi pengarang. Demikian juga kegagalan sebuah karya tidak di sebabkan oleh adanya unsur-unsur oriental melainkan bagaimana unsur-unsur tersebut ditampilkan secara estetis. Visi postkolonial menelusuri pola-pola pemikiran kelompok orientalis  dalam rangka membangun superioritas barat dengan konsekuensi logis terjadinya inferioritas timur.
Teori postkolonial lahir sesudah kebanyakan negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya. Teori postkolonial mencakup seluruh khazanah sastra nasional yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal kolonisasi hingga sekarang. Sastra yang dimaksud diantaranya: Afrika, Australia, Bangladesh, Kanada, Karibia, India, Malta, Selandia Baru, Pakistan, Singapura, Malaysia dan Indonesia.
Oleh karena itulah teori postkolonial dikatakan bersifat multidisiplin sekaligus sebagai studi kultural. Oleh karena itu pula, postkolonial melibatkan tiga pengertian, yaitu (a) Abad berakhirnya imperium kolonial diseluruh dunia. (b) Segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kolonial. (c) teori-teori yang digunakan untuk menganalisis masalah-masalah pascakolonialisme.
Munculnya teori baru didasarkan atas pertimbangan, bahwa teori terdahulu tidak mampu atau tidak sesuai untuk menganalisis gejala yang baru. Demikian halnya dengan timbulnnya teori postkolonial disebabkan karena ketidakmampuan teori Eropa sentris, teori universal mengenai bahasa dan ilmu pengetahuan  yang lain dalam mengkaji keberagaman tradisi kebudayaan postkolonial. Seperti diketahui, teori baru adalah ekspansi imperial sejak awal reinassance, teori dengan muatan dominasi dan ekspansi Eropa terhadap dunia non Eropa. Menurut Ashcroft (dkk,2003:238), ciri-ciri inilah yang harus didekonstruksi dengan menciptakan teori baru sebagai antitesis sehingga kebudayaan lokal tidak terserap kembali kedalam paradigma universal yang baru. Dengan menyediakan istilah-istilah tertentu, bahasa membentuk realitas sehingga dunia hadir melalui sarana bahasa. Menurutnya, disamping teori-teori postrukturalisme, khususnya dekontruksi, yang memang dipersiapkan untuk mendekonstruksi teori universal. Teori baru yang dimaksud perlu diadopsi melalui kekayaan budaya setempat. Dalam rangka melakukan abrigasi sekaligus aprosiasi terhadap konsep Eropa sentris, demikian juga sistem bahasanya.
Analisis wacana postkolonial bisa digunakan, disatu pihak untuk menelusuri  aspek-aspek yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan, sehingga dapat diketahui bagimana kekuasaan itu bekerja, dipihak lain membongkar disiplin, lembaga, dan ideologi yang mendasarinya. Dalam hubungan inilah peranan bahasa, sastra, dan kebudayaan pada umumnya dapat memainkan peran.  Sebab, didalam ketiga gejala tersebutlah mengandung wacana-wacana kolonialis penting untuk menyadarkan bangsa Eropa.
Sesuai dengan ciri-ciri negara kolonial yang membatasi kebebasan berpikir bagi masyarakat yang dikuasainya, demikian juga bentuk ilmu pengetahuan, maka terjadilah stagnasi  dan bahkan kemunduran dalam semua aspek kehidupan. Salah satu periode sastra indonesia modern, yaitu balai pustaka, dimana pemerintah kolonial terlibat secara langsung dalam proses penciptaan, sebagai lembaga sensor, diduga mengandung aspek-aspek yang banyak dikaji melalui teori postkolonial. Dalam hubungan ini teori postkolonial identik dengan teori postmodernisme dan postruktruralisme. Perbedaanya, apabila teori postmodernisme dan postruktruralisme dimanfaatkan untuk memhami gejala kultural secara universal. Teori postkolonial memusatkan pada visi dan misi kolonial sebagaimana terkandung dalam unit-unit wacana kolonial. Ciri penting lainnya adalah kenyataan bahwa secara definitif teori postkolonial dimanfaatkan untuk menganalisis khazanah kultural yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi dinegara-negara pascakolonial.
Visi tradisional sebagian besar menganggap bahwa karya sasta tidak bisa digunakan sebagai tolak ukur untuk mengetahui perubahan masyarakat tertentu, bagaimana sistem ideologi suatu kelompok tertentu bekerja, dan sebagainya. Sebaliknya Visi kontemporer menjelaskan bahwa sebagai hakikat kreatifitas imajinatif ternyata karya sastra berhasil untuk melukiskan gejala-gejala tersebut, khusus dalam kajian objek teoripostkolonial paling sedikit terkandung empat alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis  melalui teori-teori postkolonial.
1. Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator antara masa lampau dengan masa sekarang.
2. Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitas, dan intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyrakat itu sendiri.
3. Karya satra tidak terikat ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang paling signifikan.
4. Berbagai masalah yang dimaksud dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak. Disinilah analisis oriental ditanamkan, disini pula dianalisis dekonstruksi postkolonial dilakukan.
Keunggulan karya sastra sebagai objek kajian, dengan sistem komunikasi yang dimilikinya tidak dengan sendirinya menyediakan pemahaman langsung terhadap pembaca. Sebagai hakikat kreatif imanjinatif karya sastra, dengan medium penyajian melalui sistem simbol bahasa, karya sastra penuh dengan simbol bahasa kias, metafora dan kontradiksi. Sebagai akibat intensitas sublimasi, karya sastra bahkan menipu pembaca atas dasar pemanfaatan bahasa diantara karya sastra yang banyak tersebar, khususnya di Indonesia adalah hasil karya pengarang besar William Shakespeare, seperti Othello dan The Tempest. Sesuai dengan hakikat karya sastra, jelas timbul berbagai penafsiran, yang kadang-kadang sangat berbeda antara seorang pembaca dengan pembaca yang lain. Dalam kaitannya dengan lembaga sastra dapat disebutkan sensor balai pustaka, bagaimana pemerintah kolonial mempertahankan sekaligus menyebarluaskan satra daerah sekitar tahun 1920-an baik sebagain karya sastra maupun lembaga jelas memiliki tujuan tertentu yang dengan sendirinya memberikan pemahaman yang berbeda terhadap analisis postkolonial.
Sejajar dengan pendapat Hayden White (1987:53,58,91-93), melalui teori postkolonial, said memberikan arti yang baru terhadap objektivitas sejarah. Menurutnya sejarah tidak berbeda dengan artefak literer, dan bahwa sejarah pun bersifat interteks. Pada dasarnya sejarah adalah fiksi, komposisi persuasif melalui penggunaan bahasa, dengan demikian sejarah adalah  kontruksi narasi, sebagai kode naratif. Sebagaimana karya sastra, penulisan sejarah dilakukan bukan atas dasar deskripsi semata-mata melainkan juga seleksi, bahkan dengan pemanfaatan semacam plot. Dalam hubungan ini kualitas sejarah sangat dekat dengan hakikat subjektif dan imajinatif. White dan said termasuk para pelopor  postmodernisme yang lain memandang bahwa sejarah tidak berbeda dengan teks.
Said (Loomba,2003:74-75) melangkah lebih jauh, menelusuri ideologi rasional, kemajuan ilmu pengetahuan secara maksimal, yang dianggap sebagai proyek zaman pencerahan. Menurutnya kemajuan yang dicapai oleh masyarakat barat memiliki tujuan tersembunyi dalam rangka menanamkan hegemoni terhadap bangsa lain, sehingga seolah-olah sejarah yang monolinear itu memperoleh persetujuan dari bangsa yang terjajah.
Hadirnya sastra dalam analisis postkolonial bukanlah secara kebetulan, bukan juga sebagai masalah yang dicari-cari. Sejak zaman plato sastra digunakan untuk menjembatani antara fakta dengan fiksi, antara kenyataan dengan rekaan. Aristoteles memandang sastra sebagai katharsis. Marxis memandang sastra penting dalam menyebarkan ideologi. Pengusiran di negara-negara komunis memperkuat asumsi  bahwa sastra merupakan medan pertarungan ideologis dalam rangka memperoleh hegemini kelompok tertentu. Hampir semua pendekatan poststrukturalis memanfaatkan sastra sebagai objek studi yang sangat penting. Alsannya jelas, disatu pihak sastra sebagai subjek, karya sastra bukan fakta, karya sastra bekerja secara imajinatif. Melalui sistem simbol, sastra justru membingkar hubungan antara gejala-gejala yang tampak dengan yang tersembunyi, yang dominan dengan marginal, dengan demikian satra merupakan perdebatan terbuka dalam kaitan dengan ideologi dengan berbagai tujuan.
    Mendekonstruksi legitimasi narasi-narasi besar bukanlah pekerjaan yang mudah. Pertama, karya sastra melibatkan aspek-aspek lain diluar dirinya, aspek-aspek instrinsik, yaitu : sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan pada umumnya. Kedua, sebagai genre karya sastra sangat bervariasi, masing-masing jenis memerlukan pemahaman yang berbeda. Ketiga, belum adanya kesepakatan bahwa hakikat kreatif imajinatif memberikan objektifitas yang memadai dalam kaitannya dengan penyebaran sistem kultural.
Jelas tidak mungkin dan tidak perlu, misalnya untuk menolak kehadiran teori sastra dan ilmu pengetahuan barat sebab mereka sudah hadir dan akan terus hadir, lebih-lebih dengan keunggulan teknologi dan komunikasinya. Kaitan objek karya sastra dan ilmu pengetahuan serta teori postkolonial yang diperlukan oleh bangsa timur adalah sikap, perilaku akdemis, dalam menghadapi sistem ideologi sebagaimana yang terkandung dalam teks kolonial. Oleh karena itu, agak berbeda dengan postrukturalis pada ummunya, Said (Walia,2003:75-76) mempertahankan hakikat pengarang dengan latar belakang sosialnya sebagai asal-usul teks. Menurutnya, asal-usul teks membantu untuk menunjukkan dimana ideologi wacana ditanamkan, dan kemana tujuannya.
Dikaitkan dengan tujuan wacana orientalis adalah wacana yang mewakili sistem ideologi barat dalam kaitannya untuk menanamkan hegemoni terhadap bangsa timur. Sebaliknya, wacana postkolonial adalah wacana yang mewakili sistem ideologi timur untuk menanamkan pemahaman ulang sekaligus memberikan citra diri yang baru terhadap bangsa timur mengenai hegemoni barat tersebut. Ciri khas postkoloniallisme dibangdingkan dengan teori-teori postmodernis yang lain adalah kenyataan bahwa objeknya adalah teks-teks yang berkaitan dengan wilayah bekas jajahan imperium Eropa khususnya Indonesia. Dengan masa kolonisasi yang cukup lama, sekitar tiga setengah abad, sangat mudah untuk dibayangkan bahwa berbagai kajian telah tersebar luas, baik di Eropa maupun Indonesia. Teks yang dimaksud perlu dikaji kembali menurut kaidah-kaidah postkolonialis, sehingga melahirkan pemahaman yang berbeda sesuai dengan kepentingan nasional.
Ciri khas postkolonialisme dibandingkan dengan teori-teori postmodernis yang lain adalah kenyataan bahwa objeknya adalah teks-teks yang berkaitan dengan wilayah bekas jajahan imperium Eropa.
Visi postkolonial menunjukkan bahwa pada masa penjajahan yang ditanamkan adalah perbedaan, sehingga jurang pemisah antara kolonial dengan pribumi bertambah lebar. Bahasa pribumi dianggap bahasa mati, bahasa lama, sebaliknya bahasa Belanda dianggap bahasa ilmu pengetahuan, bahasa modern. Dominasi kolonial juga mambawa naskah-naskah lama yang secara fisik seolah-olah dipenjarakan di musium-musium Eropa.

v  Tokoh yang Berpengaruh dalam Kajian Postkolonialisme
1.      Bill Ashcroft dkk. di dalam buku, The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures (tanpa tahun)
2.      Edward Said menerbitkan buku yang berjudul Orientalism di tahun 1978
3.      Edward Said lewat tulisannya Devil Theory of Islam (2000)
4.      Gayatri Spivak memperoleh ketenaran di kancah kajian poskolonial lewat esainya Can the Subaltern Speak? (Maggio, 2007: 419)
v  Kelemahan dan Kelebihan Teori Postkolonialis
Kelemahan dari teori postkolonialis adalah:
a.       Deskripsi dan analisis teks-teks oriental bersifat berat sebelah,
b.      Pengetahuan tentang timur tidak pernah menjadi asli, sebab yang menceritakan penuh kepentingan;
c.       Dibalik objektivitas bersembunyi pikiran Barat;
d.      Edward Said menyebut bahwa teks orientalis sebagai teks-teks PREDATORIS yang secara perlahan menghisap kekuatan bangsa Timur;
e.       Orientalisme akhirnya bukan sekedar pengetahuan melainkan KEKUASAAN

Kelebihan dari teori postkolonialis adalah:
a.       Sebagai gejala kultural sastra menampilkan komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator antara masa lampau dan masa sekarang;
b.      Karya sastra menampilkan problematika kehidupan, emosionalitas dan intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri;
c.       Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang paling signifikan;
d.      Berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak kelihatan

v  Manfaat Teori Postkolonialis untuk Penelitian Sastra Indonesia
 Teori Postkolonial identik dengan teori postmodernisme dan postruktural. Perbedaannya, apabila teori postmodernisme dan postrukturalisme dimanfaatkan untuk memahami gejala kultural secara universal, teori postkolonial memusatkan perhatian pada visi dan misi kolonal sebagaimana terkandung dalam unit-unit wacana kolonial. Ciri penting lainnya adalah kenyataan bahwa secara definitif teori postkolonial dimanfaatkan untuk menganalisis khazanah kultural yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di negara-negara pascakolonial, lebih khusus lagi adalah negara-negara bekas koloni Eropamodern. Contoh penggunaan teori postkolonial dalam penelitian sastra Indonesia adalah Salah Asuhan karangan Abdoel Moeis, mengandung berbagai masalah yang berkaitan dengan perbedaan antara kebudayaan Barat dan Timur, sehingga dapat dianalisis melalui teori postkolonial
Sebelum eksplorasi isu sastra dan kajian poskolonial dimulai, ada baiknya dipahami dulu penyulut isu kajian poskolonial di dalam sastra dan pemikiran modern. Pemahaman ini akan lebih memudahkan kita untuk memahami duduk perkara sebenarnya dan bagaimana mengaplikasikannya di dalam ranah sastra.
Kajian poskolonialisme dapatlah dianggap dimulai ketika terjadi fajar budi di tiga benua (Afrika, Asia, dan Amerika Latin) sebagai bentuk kulminasi pengalaman akan penindasan dan perjuangan terhadap kolonialisme (Young, 2001: 383-426). Kajian poskolonialisme bukanlah suatu bentuk genderang perang terhadap apa yang terjadi di masa lalu, namun suatu bentuk perjuangan terhadap realitas kekinian yang masih terjajah oleh bentuk neo-kolonialisme selepas kemerdekaan dicapai (Rukundwa dan Aarde, 2007: 1175).
Bentuk perlawanan terhadap kolonialisme tidaklah berhenti setelah kemerdekaan dicapai namun juga harus tetap diteruskan ketika disadari bahwa kolonialisme tidak hanya “telah” menjajah secara fisik, namun imbas penjajahan sebenarnya juga sudah merasuk ke dalam pikiran bawah sadar (Nandy, 1983: 63) dan ini yang diabaikan oleh negara-negara yang telah merdeka. Justru yang sering terjadi adalah bagaimana penduduk dari negara-negara yang telah merdeka melupakan identitas mereka dan juga menganggap diri mereka sebagai inferior di hadapan bekas penjajah. Masalah inferioritas muncul karena di dalam alam pikiran bawah sadar negara bekas terjajah masih tersimpan ingatan kekalahan terhadap negara bekas penjajah dan kegamangan akan identitas diri yang belum tertemukan. Penduduk dari negara-negara yang telah merdeka lupa menyadari bahwa inferioritas yang mereka alami dapat disembuhkan lewat proses reidentifikasi.
Proses reidentifikasi diri memerlukan suatu proses pencarian identitas. Yang kemudian menjadi masalah adalah bahwa isu nasionalisme yang kerap dikedepankan di dalam pencarian identitas menjadi sesuatu yang absurd ketika disadari bahwa nasionalisme yang disemai dari batas wilayah kebangsaan adalah  merupakan konstruk struktur buah karya bekas penjajah (bdk. Young, 2001: 59 dengan Rukundwa dan Aarde, 2007: 1189). Ada kecanggungan yang kentara ketika usaha pencarian identitas dalam rangka reidentifikasi diri terbentur oleh kenyataan sejarah bahwa identitas negara yang merdeka berbeda dengan identitas suku yang tergabung di dalamnya. Masalah menjadi bertambah ketika disadari bahwa nasionalisme di dalam beberapa aspek sungguh berbeda dengan tribalisme.
Istilah poskolonialisme menjadi suatu bentuk kajian sastra yang serius muncul pertama kali ketika Bill Ashcroft dkk. di dalam buku, The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures (1989), menggunakan istilah tersebut untuk menggantikan istilah sebelumnya untuk merujuk sastra di negara bekas jajahan eropa: sastra third world atau sastra daerah commonwealth (Bahri, 1996). Namun meskipun demikian, sebenarnya kajian poskolonialisme sebagai sebuah studi yang serius dapatlah dikatakan mulai hangat ketika Edward Said menerbitkan buku yang berjudul Orientalism di tahun 1978 (Bahri, 1996).
Sebagai sebuah istilah, poskolonialisme adalah “a collection of theoretical and critical strategies used to examine the culture (literature, politics, history, and so forth) of former colonies of the European empires, and their relation to the rest of the world” (Makaryk, 1993: 155). Meskipun demikian, jika istilah kajian poskolonialisme untuk merujuk kepada usaha perlawanan terhadap neokolonialisme digunakan istilah yang Edward Said sebut sebagai orientalisme maka justru akan lebih jelas definisinya. Said mengatakan bahwa orientalisme adalah “fundamentally a political doctrine willed over the Orient because the Orient was weaker than the West, which elided the Orient’s difference with its weakness….As a cultural apparatus Orientalism is all aggression, activity, judgment, will-to-truth, and knowledge” (1978: 204).
Contoh yang diberikan oleh Edward Said lewat tulisannya Devil Theory of Islam (2000) mengenai penciptaan imaji “keburukan Islam” oleh Judith Miller adalah salah satu bentuk kerja orientalisme di dalam melabeli sesuatu yang datang dari Timur sebagai buruk dan jahat dus mengarahkan orang-orang bekas terjajah, atau orang-orang Timur, untuk mempercayai pola pikir yang dijejalkan tersebut. Edward Said (2000) mengkritik tulisan Judith Miller yang memanipulasi cara berpikir kepada negara-negara bekas terjajah mengenai “keburukan Islam” lewat demonisasi dan dehumanisasi. Menurut Said, tindakan demikian justru malah akan membuat orang-orang Timur pemeluk Islam sebagai objek pesakitan yang posisinya menjadi tidak sepadan untuk diajak dialog untuk perdamaian. Said juga menunjukkan bahwa pelabelan ini justru membuat orang-orang Timur terpecah di dalam diskursus pembelaan akan Islam, dan bagi sebagian orang-orang Timur lainnya, diskursus deradikalisasi Islam. Pengkondisian demikian, yang memang disengaja, akan membuat negara-negara bekas terjajah (yang memiliki warga negara pemeluk Islam) menjadi stagnan kemajuan karena sibuk dengan diskursus yang disulut oleh tulisan orientalis dan ini merupakan bentuk neokolonialisme baru.
Tokoh lain yang terkenal di dalam gerakan poskolonialisme selain Edward Said adalah Gayatri Spivak. Gayatri Spivak memperoleh ketenaran di kancah kajian poskolonial lewat esainya Can the Subaltern Speak? (Maggio, 2007: 419). Di dalam esainya tersebut, Spivak mempertanyakan definisi “subjek” sebagai Colonial (atau Barat) dan budaya lain sebagai “the other” (bdk. Maggio, 2007). Spivak memakai strategi Marx dan Derrida di dalam gugatannya tentang definisi “subjek-the other” (Maggio, 2007: 421). Spivak, menurut Maggio (Maggio, 2007: 424), dapat dikatakan berapi-api menuding namun pesimis mengenai proyek perlawanan poskolonial karena Barat sudah [terlanjur] terdefinisi sebagai sesuatu yang sudah jadi, ada di sana, ketika dibenturkan dengan The Other. Contoh yang diberikan Spivak adalah mengenai ritual sati India. Ia mengajukan pertanyaan: “What did sati say?” (dalam Maggio, 2007: 424).  Spivak merujuk sebuah “kenyataan yang dijejalkan” kepada masyarakat “primitif” India oleh penjajah “beradab” Inggris bahwa sati adalah ritual yang dikaitkan dengan crime atau kejahatan dan bukan sebagaimana seharusnya ditafsirkan: sebuah bentuk martirdom di dalam ajaran Hindu (Maggio, 2007: 425).
Lalu jika hendak mengaitkan sastra dengan kajian poskolonialisme, apa sajakah isu-isu yang dapat dimunculkan ke permukaan? Sebagaimana Bahri (1996) menjabarkan beberapa isu yang dapat dikaji di dalam kajian poskolonialisme sebagaimana berikut ini:
  • Bagaimana pengalaman kolonisasi (atau penjajahan) memiliki pengaruh terhadap orang-orang terjajah dan juga kepada para penjajah (colonizer)?
  • Bagaimana para penjajah dapat menguasai negara yang terjajah? Dengan cara apakah para penjajah melakukannya?
  • Jejak atau bukti apakah yang dapat ditemukan di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berbau kolonial yang masih tersisa atau nampak di negara atau masyarakat poskolonial (bekas terjajah)?
  • Bagaimanakah efek jejak kolonialisme berpengaruh di dalam pembangunan dan modernisasi negara poskolonial?
  • Apa sajakah bentuk perlawanan terhadap pengaruh atau kontrol kolonial?
  • Bagaimanakah pendidikan dan bahasa kolonial berpengaruh terhadap budaya dan identitas negara atau masyarakat terjajah?
  • Bagaimanakah ilmu pengetahuan, teknologi, dan ilmu medis Barat mempengaruhi sistem ilmu pengetahuan yang ada? [atau Bagaimanakah ilmu pengetahuan, teknologi, dan ilmu medis Barat mempengaruhi sistem ilmu pengetahuan yang sudah ada?]
  • Bagaimanakah manifestasi identitas poskolonial setelah para penjajah berhasil terusir?
  • Sampai sejauh manakah dekolonisasi (sebuah rekonstruksi yang bebas dari pengaruh kolonial) sudah bisa terwujud?
  • Apakah doktrinasi Barat mengenai isu hibriditas di dalam masyarakat poskolonial cukup berhasil?
  • Apakah masyarakat poskolonial memandang sebuah urgensi bahwa isu psokolonialisme adalah mengembalikan keadaan ke masa pra-kolonial?
  • Bagaimanakah jender, ras, dan kelas sosial berfungsi atau memainkan perannya di dalam wacana kolonial dan poskolonial?
  • Apakah bentuk baru imperialisme menggantikan kolonialisme lama di suatu negara atau masyarakat poskolonial? Bagaimana bentuk dan cara kerjanya?
maka penerapannya di dalam analisis karya sastra adalah dengan menganalisis suatu karya menggunakan isu-isu tersebut. Bahri (1996) sendiri menambahkan beberapa isu tambahan yang bisa diikatkan langsung di dalam analisis karya sastra sebagaimana berikut ini:
  • Apakah ada sebuah urgensi bagi penulis untuk menggunakan bahasa kolonial agar dapat mencapai pembaca yang lebih luas ataukah ia hanya “boleh” memakai bahasa asli masyarakat poskolonial (colonial language vs. native language)
  • Penulis atau pengarang yang mana sajakah yang dapat dikategorikan ke dalam kanon poskolonial?
  • Bagaimanakah teks yang diterjemahkan dari bahasa-bahasa non kolonial akan dapat memperkaya isu poskolonial?
  • Sudahkah “banjir” novel poskolonial mengarahkan kepada genre baru yang lain dari genre yang sudah mapan di dalam suatu masyarakat poskolonial?
serta dapat juga ditambahkan bahwa kajian poskolonialisme di dalam sastra dapat berfokus kepada tiga hal: hibriditas[i], sinkretisasi[ii], dan pastiche[iii] (bdk. Bahri, 1996) atau malah suatu bentuk kajian karya kolonialis (penjajah)[iv] (Lye, 2008).
REFERENSI
Bahri, Deepika. 1996. Introduction to Postcolonial Studies. Diakses 24 Mei 2012, pukul 10:00 a.m. (GMT +7) dari:http://www.english.emory.edu/Bahri/Intro.html
Lye, John. 30 April 2008. Some Issues in Postcolonial Theory (©1998; 1997). Diakses 24 Mei 2012, pukul 12:07 p.m. (GMT +7) dari:http://www.brocku.ca/english/courses/4F70/postcol.php
Maggio, J. 2007. ““Can the Subaltern Be Heard?”: Political Theory, Translation, Representation, and Gayatri Chakravorty Spivak”, Alternatives 32 (2007), 419-443.
Makaryk, I.R. (ed.). 1993. Encyclopedia of Contemporary Literary Theory: Approaches, Scholars, Terms. Toronto: University of Toronto Press.
Nandy, A. 1983. Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self Under Colonialism. Delhi: Oxford University Press.
Rukundwa, L.S. dan Andries G. van Aarde. 2007. “The Formation of Postcolonial Theory”, Hervormde Teologiese Studies, 63(3). hlm. 1171-1194.
Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Vintage Books.
Said, Edward. 25 Juli 2000 (12 Agustus 1996). A Devil Theory of Islam. Diakses tanggal 24 Mei 2012 pukul 11:01 a.m. (GMT+7) dari:http://www.thenation.com/article/devil-theory-islam
Young, R.J.C. 2001. Postcolonialism: A Historical Introduction. London: Blackwell.
 Sastra dan Kajian Poskolonial by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

[i] Suatu konsep yang penting di dalam kajian poskolonial, merujuk kepada intregasi simbol dan praktik kultural yang dimiliki penjajah dengan yang dijajah. Hibriditas dapat disebut sebagai bentuk dinamisme budaya yang memperkaya kedua budaya yang terlibat namun juga dapat dilihat sebagai bentuk opresivitas budaya penjajah (Lye, 2008).
[ii] Suatu bentuk pencampuran budaya, praktik, gaya dan atau tema karya sastra bekas penjajah dengan bekas jajahan.
[iii] Suatu bentuk usaha meniru karya penjajah oleh bekas jajahan.

[iv] colonialist literature: karya sastra yang ditulis oleh seorang penjajah dan ditulisnya pada saat ia berada di daerah jajahan dengan menggunakan home country sebagai rujukan standar dan kadang kala juga sebagai audience dari karyanya (Lye, 2008)

Les Bahasa Mandarin Surabaya Let’s learn Chinese with us ! 📍Surabaya, Indonesia WA : 085733355927 linkr.bio/anin_zone . . - Menerima kursus...