ILMU SASTRA UMUM
PASCASARJANA 2014
TEORI POSTKOLONIAL
v
Pengertian
Postkolonial
Secara
Etimologis, postkolonial berasal dari kata post dan kolonial, sedangkan kata
kolonial itu sendiri berasal dari akar kata Colonia, bahasa romawi yang berarti
tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara
etimologi kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan
konotasi eksploitasai lainnya. Dikaitkan dengan pengertian kolonial
terakhir (Ania Loomba, 2003:2-3), maka negara-negara eropa modern bukanlah
kolonias yang pertama.
Dikaitkan dengan
teori-teori postmodernisme yang lain, studi postkolonial termasuk relatif baru.
Cukup sulit untuk menentukan secara agak pasti kapan teori postkolonial lahir. Menurut Shelley
walia (2001:6;,2003:58-59) proyek postkolonialisme pertama kali dikemukakan
oleh Frantz Fanon dengan bukunya yang berjudul Black Skin, White Mask and Wretched of The Earth (1967). Fanon
menyimpulkan bahwa melalui dikotomi kolonial, penjajah-penjajah, wacan oriental
telah melahirkan alienasi dan marginalisasi psikologis yang sangat dahsyat. Gayatri
Chakravorty spivak, homik, Bhabha, jaques Derrida,dan tzvetan todorov mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan teori postkolonial adalah teori yang digunakan untuk
menganalisis berbagai gejala kultural, seperti: sejarah, politik, ekonomi,
sastra dan sebagainya. Pada umumnya gejala-gejala kultural tersebur terkandung
dalam berbagai teks studi mengenai dunia timur.
v
Bidang Kajian
Postkolonial
Dalam bidang sastra, teori poskolonial
merupakan salah satu dari serangkaian munculnya kajian atau teori setelah
kemapanan teori strukturalisme mulai dipertanyakan. Seperti telah diketahui
oleh umum bahwa dalam sejarahnya teori sastra yang mula-mula yaitu teori
mimesis pada zaman Plato di Yunani Kuno. Perkembangan berikutnya yaitu teori
pragmatis pada zaman Horace dari Romawi abad ke-4 yang disusul dengan teori
yang berorientasi pada ekspresionisme pada abad ke-19.
Pada abad ke-20 teori-teori yang
berorientasi pada strukturalisme mendominasi kajian sastra. Pada paruh abad
ke-20, teori-teori strukturalisme yang mendasarkan kajiannya hanya sebatas
objek sastra itu telah mencapai puncaknya. Perkembangan teori sastra
selanjutnya, berputar haluan dan dalam kecepatan yang luar biasa memunculkan
sejumlah teori-teori yang seringkali satu sama lain saling berseberangan dan
saling mengisi.
Pada paruh akhir abad ke-20, selain
strukturalisme yang mengkaji karya sastra hanya berdasarkan strukturnya, ada
juga sejumlah kajian atau teori sastra yang melibatkan unsur kesejarahannya dan
konteks sosialnya. Teori-teori seperti cultural studies, new historisisme, dan
poskolonial untuk sekedar menyebut contoh merupakan kajian-kajian sastra yang
menganalisis karya sastra dalam konteks kesejarahannya ataupun konteks
sosialnya. Poskolonial merupakan kajian terhadap karya-karya sastra (dan bidang
yang lain) yang berkaitan dengan praktik kolonialisme atau imperialisme baik
secara sinkronik maupun diakronik. Kajian poskolonial berusaha membongkar
selubung praktik kolonialisme di balik sejumlah karya sastra sebagai
superstruktur dari suatu kekuasaan, kekuasaan kolonial. Sastra dipandang
memiliki kekuatan baik sebagai pembentuk hegemoni kekuasan atau sebaliknya
sebagai konter hegemoni.
v
Visi
Postkolonial
Visi
postkolonial tidak ada kaitan dengan masalah-masalah sosial politis
secara praktis dalam analisis, khususnya karya sastra, tidak mesti dikaitkan
dengan intensi pengarang. Demikian juga
kegagalan sebuah karya tidak di sebabkan oleh adanya unsur-unsur oriental melainkan
bagaimana unsur-unsur tersebut ditampilkan secara estetis. Visi
postkolonial menelusuri pola-pola pemikiran kelompok orientalis dalam
rangka membangun superioritas barat dengan konsekuensi logis terjadinya
inferioritas timur.
Teori
postkolonial lahir sesudah kebanyakan negara-negara terjajah memperoleh
kemerdekaannya. Teori postkolonial mencakup seluruh khazanah sastra nasional
yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal kolonisasi hingga sekarang.
Sastra yang dimaksud diantaranya: Afrika, Australia, Bangladesh, Kanada, Karibia,
India, Malta, Selandia Baru, Pakistan, Singapura, Malaysia dan Indonesia.
Oleh
karena itulah teori postkolonial dikatakan bersifat multidisiplin sekaligus
sebagai studi kultural. Oleh karena itu pula, postkolonial melibatkan tiga pengertian,
yaitu (a) Abad berakhirnya imperium kolonial diseluruh dunia. (b) Segala
tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kolonial. (c) teori-teori
yang digunakan untuk menganalisis masalah-masalah pascakolonialisme.
Munculnya
teori baru didasarkan atas pertimbangan, bahwa teori terdahulu tidak mampu atau
tidak sesuai untuk menganalisis gejala yang baru. Demikian halnya dengan
timbulnnya teori postkolonial disebabkan karena ketidakmampuan teori Eropa
sentris, teori universal mengenai bahasa dan ilmu pengetahuan yang lain
dalam mengkaji keberagaman tradisi kebudayaan postkolonial. Seperti diketahui, teori
baru adalah ekspansi imperial sejak awal reinassance, teori dengan muatan
dominasi dan ekspansi Eropa terhadap dunia non Eropa. Menurut Ashcroft (dkk,2003:238),
ciri-ciri inilah yang harus didekonstruksi dengan menciptakan teori baru
sebagai antitesis sehingga kebudayaan lokal tidak terserap kembali kedalam
paradigma universal yang baru. Dengan menyediakan istilah-istilah tertentu, bahasa
membentuk realitas sehingga dunia hadir melalui sarana bahasa. Menurutnya, disamping
teori-teori postrukturalisme, khususnya dekontruksi, yang memang dipersiapkan
untuk mendekonstruksi teori universal. Teori baru yang dimaksud perlu diadopsi
melalui kekayaan budaya setempat. Dalam rangka melakukan abrigasi sekaligus
aprosiasi terhadap konsep Eropa sentris, demikian juga sistem bahasanya.
Analisis
wacana postkolonial bisa digunakan, disatu pihak untuk menelusuri
aspek-aspek yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan, sehingga dapat
diketahui bagimana kekuasaan itu bekerja, dipihak lain membongkar disiplin, lembaga,
dan ideologi yang mendasarinya. Dalam hubungan inilah peranan bahasa, sastra, dan
kebudayaan pada umumnya dapat memainkan peran. Sebab, didalam ketiga
gejala tersebutlah mengandung wacana-wacana kolonialis penting untuk
menyadarkan bangsa Eropa.
Sesuai
dengan ciri-ciri negara kolonial yang membatasi kebebasan berpikir bagi
masyarakat yang dikuasainya, demikian juga bentuk ilmu pengetahuan, maka terjadilah
stagnasi dan bahkan kemunduran dalam semua aspek kehidupan. Salah satu
periode sastra indonesia modern, yaitu balai pustaka, dimana pemerintah
kolonial terlibat secara langsung dalam proses penciptaan, sebagai lembaga
sensor, diduga mengandung aspek-aspek yang banyak dikaji melalui teori
postkolonial. Dalam hubungan ini teori postkolonial identik dengan teori
postmodernisme dan postruktruralisme. Perbedaanya, apabila teori postmodernisme
dan postruktruralisme dimanfaatkan untuk memhami gejala kultural secara
universal. Teori postkolonial memusatkan pada visi dan misi kolonial
sebagaimana terkandung dalam unit-unit wacana kolonial. Ciri penting lainnya
adalah kenyataan bahwa secara definitif teori postkolonial dimanfaatkan untuk
menganalisis khazanah kultural yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang
terjadi dinegara-negara pascakolonial.
Visi
tradisional sebagian besar menganggap bahwa karya sasta tidak bisa digunakan
sebagai tolak ukur untuk mengetahui perubahan masyarakat tertentu, bagaimana sistem
ideologi suatu kelompok tertentu bekerja, dan sebagainya. Sebaliknya Visi
kontemporer menjelaskan bahwa sebagai hakikat kreatifitas imajinatif ternyata
karya sastra berhasil untuk melukiskan gejala-gejala tersebut, khusus dalam kajian
objek teoripostkolonial paling sedikit terkandung empat alasan mengapa karya
sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui teori-teori postkolonial.
1.
Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim
dan penerima, sebagai mediator antara masa lampau dengan masa sekarang.
2.
Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitas, dan
intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyrakat itu sendiri.
3.
Karya satra tidak terikat ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya
yang paling signifikan.
4.
Berbagai masalah yang dimaksud dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga
tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak. Disinilah analisis oriental
ditanamkan, disini pula dianalisis dekonstruksi postkolonial dilakukan.
Keunggulan
karya sastra sebagai objek kajian, dengan sistem komunikasi yang dimilikinya
tidak dengan sendirinya menyediakan pemahaman langsung terhadap pembaca. Sebagai
hakikat kreatif imanjinatif karya sastra, dengan medium penyajian melalui
sistem simbol bahasa, karya sastra penuh dengan simbol bahasa kias, metafora
dan kontradiksi. Sebagai akibat intensitas sublimasi, karya sastra bahkan
menipu pembaca atas dasar pemanfaatan bahasa diantara karya sastra yang banyak
tersebar, khususnya di Indonesia adalah hasil karya pengarang besar William
Shakespeare, seperti Othello dan The Tempest. Sesuai dengan hakikat karya sastra,
jelas timbul berbagai penafsiran, yang kadang-kadang sangat berbeda antara
seorang pembaca dengan pembaca yang lain. Dalam kaitannya dengan lembaga sastra
dapat disebutkan sensor balai pustaka, bagaimana pemerintah kolonial
mempertahankan sekaligus menyebarluaskan satra daerah sekitar tahun 1920-an baik
sebagain karya sastra maupun lembaga jelas memiliki tujuan tertentu yang dengan
sendirinya memberikan pemahaman yang berbeda terhadap analisis postkolonial.
Sejajar
dengan pendapat Hayden White (1987:53,58,91-93), melalui teori postkolonial, said
memberikan arti yang baru terhadap objektivitas sejarah. Menurutnya sejarah
tidak berbeda dengan artefak literer, dan bahwa sejarah pun bersifat interteks.
Pada dasarnya sejarah adalah fiksi, komposisi persuasif melalui penggunaan
bahasa, dengan demikian sejarah adalah kontruksi narasi, sebagai kode
naratif. Sebagaimana karya sastra, penulisan sejarah dilakukan bukan atas dasar
deskripsi semata-mata melainkan juga seleksi, bahkan dengan pemanfaatan semacam
plot. Dalam hubungan ini kualitas sejarah sangat dekat dengan hakikat subjektif
dan imajinatif. White dan said termasuk para pelopor postmodernisme yang
lain memandang bahwa sejarah tidak berbeda dengan teks.
Said
(Loomba,2003:74-75) melangkah lebih jauh, menelusuri ideologi rasional,
kemajuan ilmu pengetahuan secara maksimal, yang dianggap sebagai proyek zaman
pencerahan. Menurutnya kemajuan yang dicapai oleh masyarakat barat memiliki
tujuan tersembunyi dalam rangka menanamkan hegemoni terhadap bangsa lain, sehingga
seolah-olah sejarah yang monolinear itu memperoleh persetujuan dari bangsa yang
terjajah.
Hadirnya
sastra dalam analisis postkolonial bukanlah secara kebetulan, bukan juga
sebagai masalah yang dicari-cari. Sejak zaman plato sastra digunakan untuk menjembatani
antara fakta dengan fiksi, antara kenyataan dengan rekaan. Aristoteles
memandang sastra sebagai katharsis. Marxis memandang sastra penting dalam
menyebarkan ideologi. Pengusiran di negara-negara komunis memperkuat
asumsi bahwa sastra merupakan medan pertarungan ideologis dalam rangka
memperoleh hegemini kelompok tertentu. Hampir semua pendekatan poststrukturalis
memanfaatkan sastra sebagai objek studi yang sangat penting. Alsannya jelas,
disatu pihak sastra sebagai subjek, karya sastra bukan fakta, karya sastra
bekerja secara imajinatif. Melalui sistem simbol, sastra justru membingkar
hubungan antara gejala-gejala yang tampak dengan yang tersembunyi, yang dominan
dengan marginal, dengan demikian satra merupakan perdebatan terbuka dalam
kaitan dengan ideologi dengan berbagai tujuan.
Mendekonstruksi legitimasi narasi-narasi besar bukanlah pekerjaan
yang mudah. Pertama, karya sastra melibatkan aspek-aspek lain diluar dirinya,
aspek-aspek instrinsik, yaitu : sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan pada
umumnya. Kedua, sebagai genre karya sastra sangat bervariasi, masing-masing
jenis memerlukan pemahaman yang berbeda. Ketiga, belum adanya kesepakatan bahwa
hakikat kreatif imajinatif memberikan objektifitas yang memadai dalam kaitannya
dengan penyebaran sistem kultural.
Jelas
tidak mungkin dan tidak perlu, misalnya untuk menolak kehadiran teori sastra dan
ilmu pengetahuan barat sebab mereka sudah hadir dan akan terus hadir, lebih-lebih
dengan keunggulan teknologi dan komunikasinya. Kaitan objek karya sastra dan
ilmu pengetahuan serta teori postkolonial yang diperlukan oleh bangsa timur
adalah sikap, perilaku akdemis, dalam menghadapi sistem ideologi sebagaimana
yang terkandung dalam teks kolonial. Oleh karena itu, agak berbeda dengan
postrukturalis pada ummunya, Said (Walia,2003:75-76) mempertahankan hakikat
pengarang dengan latar belakang sosialnya sebagai asal-usul teks. Menurutnya, asal-usul
teks membantu untuk menunjukkan dimana ideologi wacana ditanamkan, dan kemana
tujuannya.
Dikaitkan
dengan tujuan wacana orientalis adalah wacana yang mewakili sistem ideologi
barat dalam kaitannya untuk menanamkan hegemoni terhadap bangsa timur. Sebaliknya,
wacana postkolonial adalah wacana yang mewakili sistem ideologi timur untuk
menanamkan pemahaman ulang sekaligus memberikan citra diri yang baru terhadap
bangsa timur mengenai hegemoni barat tersebut. Ciri khas postkoloniallisme
dibangdingkan dengan teori-teori postmodernis yang lain adalah kenyataan bahwa
objeknya adalah teks-teks yang berkaitan dengan wilayah bekas jajahan imperium
Eropa khususnya Indonesia. Dengan masa kolonisasi yang cukup lama, sekitar tiga
setengah abad, sangat mudah untuk dibayangkan bahwa berbagai kajian telah
tersebar luas, baik di Eropa maupun Indonesia. Teks yang dimaksud perlu dikaji
kembali menurut kaidah-kaidah postkolonialis, sehingga melahirkan pemahaman
yang berbeda sesuai dengan kepentingan nasional.
Ciri khas
postkolonialisme dibandingkan dengan teori-teori postmodernis yang lain adalah
kenyataan bahwa objeknya adalah teks-teks yang berkaitan dengan wilayah bekas
jajahan imperium Eropa.
Visi
postkolonial menunjukkan bahwa pada masa penjajahan yang ditanamkan adalah
perbedaan, sehingga jurang pemisah antara kolonial dengan pribumi bertambah
lebar. Bahasa pribumi dianggap bahasa mati, bahasa lama, sebaliknya bahasa
Belanda dianggap bahasa ilmu pengetahuan, bahasa modern. Dominasi kolonial juga
mambawa naskah-naskah lama yang secara fisik seolah-olah dipenjarakan di
musium-musium Eropa.
v Tokoh yang Berpengaruh dalam Kajian Postkolonialisme
1.
Bill Ashcroft dkk. di dalam buku, The
Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures (tanpa
tahun)
2.
Edward Said menerbitkan buku yang
berjudul Orientalism di tahun 1978
3.
Edward Said lewat tulisannya Devil
Theory of Islam (2000)
4.
Gayatri Spivak memperoleh ketenaran
di kancah kajian poskolonial lewat esainya Can the Subaltern Speak? (Maggio,
2007: 419)
v
Kelemahan dan Kelebihan Teori Postkolonialis
Kelemahan dari
teori postkolonialis adalah:
a. Deskripsi dan analisis teks-teks oriental bersifat berat
sebelah,
b. Pengetahuan tentang timur tidak pernah menjadi asli,
sebab yang menceritakan penuh kepentingan;
c. Dibalik objektivitas bersembunyi pikiran Barat;
d. Edward Said menyebut bahwa teks orientalis sebagai teks-teks
PREDATORIS yang secara perlahan menghisap kekuatan bangsa Timur;
e. Orientalisme akhirnya bukan sekedar pengetahuan melainkan
KEKUASAAN
Kelebihan dari
teori postkolonialis adalah:
a. Sebagai gejala kultural sastra menampilkan komunikasi
antara pengirim dan penerima, sebagai mediator antara masa lampau dan masa
sekarang;
b. Karya sastra menampilkan problematika kehidupan,
emosionalitas dan intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah
masyarakat itu sendiri;
c. Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu,
kontemporaritas adalah manifestasinya yang paling signifikan;
d. Berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara
simbolis, terselubung sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak kelihatan
v
Manfaat Teori Postkolonialis untuk Penelitian Sastra
Indonesia
Teori
Postkolonial identik dengan teori postmodernisme dan postruktural.
Perbedaannya, apabila teori postmodernisme dan postrukturalisme dimanfaatkan
untuk memahami gejala kultural secara universal, teori postkolonial memusatkan
perhatian pada visi dan misi kolonal sebagaimana terkandung dalam unit-unit
wacana kolonial. Ciri penting lainnya adalah kenyataan bahwa secara definitif
teori postkolonial dimanfaatkan untuk menganalisis khazanah kultural yang menceritakan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di negara-negara pascakolonial, lebih khusus
lagi adalah negara-negara bekas koloni Eropamodern. Contoh penggunaan teori postkolonial dalam penelitian sastra Indonesia
adalah Salah Asuhan karangan Abdoel Moeis, mengandung berbagai masalah
yang berkaitan dengan perbedaan antara kebudayaan Barat dan Timur, sehingga
dapat dianalisis melalui teori postkolonial
Sebelum eksplorasi isu sastra dan kajian poskolonial
dimulai, ada baiknya dipahami dulu penyulut isu kajian poskolonial di dalam
sastra dan pemikiran modern. Pemahaman ini akan lebih memudahkan kita untuk
memahami duduk perkara sebenarnya dan bagaimana mengaplikasikannya di dalam
ranah sastra.
Kajian poskolonialisme dapatlah dianggap dimulai ketika
terjadi fajar budi di tiga benua (Afrika, Asia, dan Amerika Latin) sebagai
bentuk kulminasi pengalaman akan penindasan dan perjuangan terhadap
kolonialisme (Young, 2001: 383-426). Kajian poskolonialisme bukanlah suatu
bentuk genderang perang terhadap apa yang terjadi di masa lalu, namun suatu
bentuk perjuangan terhadap realitas kekinian yang masih terjajah oleh bentuk
neo-kolonialisme selepas kemerdekaan dicapai (Rukundwa dan Aarde, 2007: 1175).
Bentuk perlawanan terhadap kolonialisme tidaklah berhenti
setelah kemerdekaan dicapai namun juga harus tetap diteruskan ketika disadari
bahwa kolonialisme tidak hanya “telah” menjajah secara fisik, namun imbas
penjajahan sebenarnya juga sudah merasuk ke dalam pikiran bawah sadar (Nandy,
1983: 63) dan ini yang diabaikan oleh negara-negara yang telah merdeka. Justru
yang sering terjadi adalah bagaimana penduduk dari negara-negara yang telah
merdeka melupakan identitas mereka dan juga menganggap diri mereka sebagai
inferior di hadapan bekas penjajah. Masalah inferioritas muncul karena di dalam
alam pikiran bawah sadar negara bekas terjajah masih tersimpan ingatan kekalahan
terhadap negara bekas penjajah dan kegamangan akan identitas diri yang belum
tertemukan. Penduduk dari negara-negara yang telah merdeka lupa menyadari bahwa
inferioritas yang mereka alami dapat disembuhkan lewat proses reidentifikasi.
Proses reidentifikasi diri memerlukan suatu proses pencarian
identitas. Yang kemudian menjadi masalah adalah bahwa isu nasionalisme yang
kerap dikedepankan di dalam pencarian identitas menjadi sesuatu yang absurd
ketika disadari bahwa nasionalisme yang disemai dari batas wilayah kebangsaan
adalah merupakan konstruk struktur buah karya bekas penjajah (bdk. Young,
2001: 59 dengan Rukundwa dan Aarde, 2007: 1189). Ada kecanggungan yang kentara
ketika usaha pencarian identitas dalam rangka reidentifikasi diri terbentur
oleh kenyataan sejarah bahwa identitas negara yang merdeka berbeda dengan
identitas suku yang tergabung di dalamnya. Masalah menjadi bertambah ketika
disadari bahwa nasionalisme di dalam beberapa aspek sungguh berbeda dengan
tribalisme.
Istilah poskolonialisme menjadi suatu bentuk kajian sastra
yang serius muncul pertama kali ketika Bill Ashcroft dkk. di dalam buku, The Empire Writes Back: Theory and
Practice in Post-Colonial Literatures (1989), menggunakan istilah
tersebut untuk menggantikan istilah sebelumnya untuk merujuk sastra di negara
bekas jajahan eropa: sastra third world atau sastra daerah commonwealth
(Bahri, 1996). Namun meskipun demikian, sebenarnya kajian poskolonialisme
sebagai sebuah studi yang serius dapatlah dikatakan mulai hangat ketika Edward
Said menerbitkan buku yang berjudul Orientalism di tahun 1978 (Bahri,
1996).
Sebagai sebuah istilah, poskolonialisme adalah “a collection
of theoretical and critical strategies used to examine the culture (literature,
politics, history, and so forth) of former colonies of the European empires,
and their relation to the rest of the world” (Makaryk, 1993: 155). Meskipun
demikian, jika istilah kajian poskolonialisme untuk merujuk kepada usaha
perlawanan terhadap neokolonialisme digunakan istilah yang Edward Said sebut
sebagai orientalisme maka justru akan lebih jelas definisinya. Said
mengatakan bahwa orientalisme adalah “fundamentally a political doctrine
willed over the Orient because the Orient was weaker than the West, which
elided the Orient’s difference with its weakness….As a cultural apparatus
Orientalism is all aggression, activity, judgment, will-to-truth, and
knowledge” (1978: 204).
Contoh yang diberikan oleh
Edward Said lewat tulisannya Devil Theory of Islam (2000) mengenai
penciptaan imaji “keburukan Islam” oleh Judith Miller adalah salah satu
bentuk kerja orientalisme di dalam melabeli sesuatu yang datang dari Timur
sebagai buruk dan jahat dus mengarahkan orang-orang bekas terjajah, atau
orang-orang Timur, untuk mempercayai pola pikir yang dijejalkan tersebut.
Edward Said (2000) mengkritik tulisan Judith Miller yang memanipulasi cara
berpikir kepada negara-negara bekas terjajah mengenai “keburukan Islam” lewat
demonisasi dan dehumanisasi. Menurut Said, tindakan demikian justru malah akan
membuat orang-orang Timur pemeluk Islam sebagai objek pesakitan yang posisinya
menjadi tidak sepadan untuk diajak dialog untuk perdamaian. Said juga
menunjukkan bahwa pelabelan ini justru membuat orang-orang Timur terpecah di
dalam diskursus pembelaan akan Islam, dan bagi sebagian orang-orang Timur
lainnya, diskursus deradikalisasi Islam. Pengkondisian demikian, yang memang
disengaja, akan membuat negara-negara bekas terjajah (yang memiliki warga
negara pemeluk Islam) menjadi stagnan kemajuan karena sibuk dengan diskursus
yang disulut oleh tulisan orientalis dan ini merupakan bentuk
neokolonialisme baru.
Tokoh lain yang terkenal di dalam gerakan poskolonialisme
selain Edward Said adalah Gayatri Spivak. Gayatri
Spivak memperoleh ketenaran di kancah kajian poskolonial lewat esainya Can
the Subaltern Speak? (Maggio, 2007: 419). Di dalam esainya tersebut,
Spivak mempertanyakan definisi “subjek” sebagai Colonial (atau Barat) dan
budaya lain sebagai “the other” (bdk. Maggio, 2007). Spivak memakai strategi
Marx dan Derrida di dalam gugatannya tentang definisi “subjek-the other”
(Maggio, 2007: 421). Spivak, menurut Maggio (Maggio, 2007: 424), dapat
dikatakan berapi-api menuding namun pesimis mengenai proyek perlawanan
poskolonial karena Barat sudah [terlanjur] terdefinisi sebagai sesuatu yang
sudah jadi, ada di sana, ketika dibenturkan dengan The Other. Contoh yang
diberikan Spivak adalah mengenai ritual sati India. Ia mengajukan
pertanyaan: “What did sati say?” (dalam Maggio, 2007: 424). Spivak
merujuk sebuah “kenyataan yang dijejalkan” kepada masyarakat “primitif” India
oleh penjajah “beradab” Inggris bahwa sati adalah ritual yang dikaitkan
dengan crime atau kejahatan dan bukan sebagaimana seharusnya
ditafsirkan: sebuah bentuk martirdom di dalam ajaran Hindu (Maggio, 2007: 425).
Lalu jika hendak mengaitkan sastra dengan kajian
poskolonialisme, apa sajakah isu-isu yang dapat dimunculkan ke permukaan?
Sebagaimana Bahri (1996) menjabarkan beberapa isu yang dapat dikaji di dalam
kajian poskolonialisme sebagaimana berikut ini:
- Bagaimana pengalaman kolonisasi (atau penjajahan)
memiliki pengaruh terhadap orang-orang terjajah dan juga kepada para
penjajah (colonizer)?
- Bagaimana para penjajah dapat menguasai negara yang
terjajah? Dengan cara apakah para penjajah melakukannya?
- Jejak atau bukti apakah yang dapat ditemukan di bidang
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berbau kolonial yang
masih tersisa atau nampak di negara atau masyarakat poskolonial (bekas
terjajah)?
- Bagaimanakah efek jejak kolonialisme berpengaruh di
dalam pembangunan dan modernisasi negara poskolonial?
- Apa sajakah bentuk perlawanan terhadap pengaruh atau
kontrol kolonial?
- Bagaimanakah pendidikan dan bahasa kolonial berpengaruh
terhadap budaya dan identitas negara atau masyarakat terjajah?
- Bagaimanakah ilmu pengetahuan, teknologi, dan ilmu
medis Barat mempengaruhi sistem ilmu pengetahuan yang ada? [atau Bagaimanakah
ilmu pengetahuan, teknologi, dan ilmu medis Barat mempengaruhi sistem ilmu
pengetahuan yang sudah ada?]
- Bagaimanakah manifestasi identitas poskolonial setelah
para penjajah berhasil terusir?
- Sampai sejauh manakah dekolonisasi (sebuah rekonstruksi
yang bebas dari pengaruh kolonial) sudah bisa terwujud?
- Apakah doktrinasi Barat mengenai isu hibriditas di
dalam masyarakat poskolonial cukup berhasil?
- Apakah masyarakat poskolonial memandang sebuah urgensi
bahwa isu psokolonialisme adalah mengembalikan keadaan ke masa
pra-kolonial?
- Bagaimanakah jender, ras, dan kelas sosial berfungsi
atau memainkan perannya di dalam wacana kolonial dan poskolonial?
- Apakah bentuk baru imperialisme menggantikan
kolonialisme lama di suatu negara atau masyarakat poskolonial? Bagaimana
bentuk dan cara kerjanya?
maka penerapannya di dalam analisis karya sastra adalah
dengan menganalisis suatu karya menggunakan isu-isu tersebut. Bahri (1996)
sendiri menambahkan beberapa isu tambahan yang bisa diikatkan langsung di dalam
analisis karya sastra sebagaimana berikut ini:
- Apakah ada sebuah urgensi bagi penulis untuk
menggunakan bahasa kolonial agar dapat mencapai pembaca yang lebih luas
ataukah ia hanya “boleh” memakai bahasa asli masyarakat poskolonial (colonial
language vs. native language)
- Penulis atau pengarang yang mana sajakah yang dapat
dikategorikan ke dalam kanon poskolonial?
- Bagaimanakah teks yang diterjemahkan dari bahasa-bahasa
non kolonial akan dapat memperkaya isu poskolonial?
- Sudahkah “banjir” novel poskolonial mengarahkan kepada
genre baru yang lain dari genre yang sudah mapan di dalam suatu masyarakat
poskolonial?
serta dapat juga ditambahkan bahwa kajian poskolonialisme di
dalam sastra dapat berfokus kepada tiga hal: hibriditas[i],
sinkretisasi[ii],
dan pastiche[iii]
(bdk. Bahri, 1996) atau malah suatu bentuk kajian karya kolonialis (penjajah)[iv]
(Lye, 2008).
REFERENSI
Maggio, J. 2007. ““Can the Subaltern Be Heard?”: Political
Theory, Translation, Representation, and Gayatri Chakravorty Spivak”, Alternatives
32 (2007), 419-443.
Makaryk, I.R. (ed.). 1993. Encyclopedia of
Contemporary Literary Theory: Approaches, Scholars, Terms. Toronto:
University of Toronto Press.
Nandy, A. 1983. Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self
Under Colonialism. Delhi: Oxford University Press.
Rukundwa, L.S. dan Andries G. van Aarde. 2007. “The
Formation of Postcolonial Theory”, Hervormde Teologiese Studies,
63(3). hlm. 1171-1194.
Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Vintage
Books.
Young, R.J.C. 2001. Postcolonialism: A Historical
Introduction. London: Blackwell.
[i]
Suatu konsep yang penting di dalam kajian poskolonial, merujuk kepada intregasi
simbol dan praktik kultural yang dimiliki penjajah dengan yang dijajah.
Hibriditas dapat disebut sebagai bentuk dinamisme budaya yang memperkaya kedua
budaya yang terlibat namun juga dapat dilihat sebagai bentuk opresivitas budaya
penjajah (Lye, 2008).
[ii]
Suatu bentuk pencampuran budaya, praktik, gaya dan atau tema karya sastra bekas
penjajah dengan bekas jajahan.
[iii]
Suatu bentuk usaha meniru karya penjajah oleh bekas jajahan.
[iv]
colonialist literature: karya sastra yang ditulis oleh seorang penjajah
dan ditulisnya pada saat ia berada di daerah jajahan dengan menggunakan home
country sebagai rujukan standar dan kadang kala juga sebagai audience
dari karyanya (Lye, 2008)